Apa Itu HOMESCHOOLING?
Homeschooling atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah sekolah rumah merupakan model pendidikan alternatif yang menjadikan keluarga sebagai peran utama dalam memegang tanggung jawab atas pendidikan anak-anaknya dengan menggunakan rumah sebagai basis pendidikannya, (Sumardiono dalam Ariefianto 2017:22). Orang tua bertanggung jawab dan terlibat secara langsung dalam proses penyelenggaraan pendidikan mulai dari penentuan arah dan tujuan dari pendidikan, nilai yang ingin dicapai, keterampilan dan kemampuan yang ingin dicapai, kurikulum pembelajaran hingga cara belajar keseharian anak.
Menurut Sumardiono (2013:4-5), homeschooling adalah model pendidikan di mana keluarga memilih untuk bertanggung jawab sendiri atas proses pendidikan yang dijalani anak-anaknya. Homeschooling bukanlah sebuah lembaga atau institusi karena orang tua dapat memilih untuk menyelenggarakan pembelajaran sendiri atau memilih menggunakan bantuan lembaga lain berupa klub, bimbel, kursus, penyelenggara ujian, dan lembaga lainnya.
Menurut Hanaco (2012:5) homeschooling dapat diartikan sebagai suatu pendidikan yang dilaksanakan sendiri oleh keluarga, difokuskan pada kepentingan dan kebutuhan anak dengan tujuan untuk mengembangkan semua potensi anak semaksimal mungkin. Homeschooling juga merupakan perpanjangan dari proses mengasuh dan mendidik anak yang dilakukan oleh orang tua, terutama ibu. Artinya, secara tidak langsung seorang ibu sudah melaksanakan homeschooling pada anak. Secara sederhananya homeschooling bisa diartikan sebagai sebuah model pendidikan berbasis rumah, dengan orang tua sebagai penanggung jawab aktif serta fokus pada kepentingan dan kebutuhan anak-anaknya. Jadi, homeschooling bukanlah sebuah lembaga karena orang tua sendiri yang menyelenggarakan homeschooling.
Ada tiga jenis homeschooling yang dikenal di Indonesia berdasarkan penerapannya, (Hanaco, 2012:6) yaitu:
1. Homeschooling tunggal, dilaksanakan oleh satu keluarga dan hanya melibatkan orangtua dan anak. Seluruh beban dan tanggung jawab ada di pada keluarga, dengan fleksibilitas yang cukup tinggi.
2. Homeschooling majemuk, model ini dipilih oleh orangtua yang menjalankan kegiatan-kegiatan pokok homeschooling, sementara kegiatan tertentu dilaksanakan oleh dua atau lebih keluarga bersama-sama. Hal ini memungkinkan para keluarga berbagi sumber daya atau bertukar pengalaman.
3. Komunitas homeschooling, merupakan gabungan dari beberapa homeschooling majemuk yang secara bersama-sama menyusun berbagai hal-hal terkait untuk memperlancar proses homeschooling.
Menurut Hanaco (2012:9), ada beberapa syarat utama bagi orangtua sebelum memilih homeschooling sebagai ranah pendidikan bagi anak-anaknya, antara lain adalah:
1. Komitmen
Keberhasilan HS benar-benar tergantung pada sejauh mana orangtua mampu memegang komitmen. Tidak bisa ditawar lagi, dalam HS orangtualah pemegang kendalinya. Beri anak kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya. Apa yang sudah diputuskan, harus dipatuhi.
2. Mencintai anak
Semua orang tua pastilah mencintai anak-ananya, darah dagingnya sendiri. Namun, kadar cintanya tidak sama. Ada orang tua yang memaknai cinta dengan membelikan mainan atau pakaian serba keren. Penampilan anak dipermak sedemikian rupa sehingga banyak orang yang mengaguminya. Melimpahi anak dengan materi yang luar biasa. Padahal arti dari mencintai anak bukanlah menjadikan anak sebagai bintang di kehidupannya, namun orangtua yang cinta anak akan memfasilitasi pendidikan anak-anaknya sebaik mungkin. Memberi dukungan sepenuhnya dalam proses belajar mereka. Cinta akan membuat orangtua memberkan pendidikan terbaik sesuai kemampuannya, cinta juga yang membuat orangtua mampu melihat sekecil apapun potensi anak. Cinta akan membuat anak berkembang dengan lebih sempurna. Cinta akan membuat orangtua mampu mengorbankan waktu dan tenaga demi pendidikan terbaik bagi anak-anaknya.
3. Disiplin
Pada saat memilih HS sebagai pendidikan dasar bagi anak-anaknya, para pelaku HS harus memiliki disiplin yang tinggi karena akan ada peraturan yang harus dipatuhi. Pemilihan kurikulum, jadwal belajar, pilihan waktu libur, buku yang akan digunakan, metode belajar, dan sebagainya harus diatur sedemikian rupa untuk kemudian dilaksanakan.
4. Mau belajar
Orangtua harus bisa memahami standar kurikulum yang akan dipakai. Bila memang merasa kurang mampu, tidak ada salahnya untuk belajar. Walaupun nantinya masalah ini diserahkan kepada guru les atau tutor, minimal orangtua harus bisa mengikuti perkembangan kurikulum yang akan digunakan dalam melaksanakan HS tersebut.
5. Kreatif
Orangtua harus menciptakan suasana belajar yang tidak kaku. Belajar bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja. Jadi, orangtua harus pandai memilih media yang tepat untuk anak-anaknya agar tidak muda bosan. Kreativitas dituntut untuk membuat anak merasa nyaman dan betah dalam mengikuti pelajarannya.
6. Orientasi ke depan
HS membutuhkan kesabaran dan mental baja untuk melaksanakannya. Tidak ada yang instan. Semuanya disiapkan perlahan-lahan dengan hati-hati untuk tujuan ke depan. Adakalanya proses belajar tidak berjalan dengan lancar karena berbagai alasan. Orangtua sebagai nahkoda hanya perlu fokus pada tujuannya. Bimbing anak agar tida tergelincir dalam kesalahan-kesalahan yang fatal. Kesalahan kecil di sana-sini adalah wajar. Mental baja dan kesabaran bisa memperbaiki semuanya.
7. Tidak mudah putus asa
Pada kenyataannya, menjalankan HS memang bukan perkara yang mudah bila kita tergolong orang yang gampang putus asa. Orang tua harus menemukan gaya tersendiri dalam melaksanakan HS. Metode atau cara yang digunakan harus disesuaikan dengan kesenangan anak. Akan ada banyak ketakutan akan kegagalan dan ketidaksanggupan melanjutkan HS. Seiring berjalannya waktu, gaya yang pas akan ditemukan, selama orangtua tidak putus asa untuk terus mencoba dan berusaha.
Membicarakan mengenai homeschooling, banyak sekali yang membandingkan antara homescholing dan sekolah formal. Antara keduanya ada persamaan mendasar mengenai sebuah sarana yang bertujuan mengantarkan anak mewujudkan tujuan pendidikan yang diharapkan, namun banyak hal yang tidak dapat diberikan oleh sekolah formal.
Berikut beberapa perbedaan antara homeschooling dan sekolah formal (Hanaco, 2012:21), di antaraya:
- Sekolah memberlakukan standarisasi dan homeschooling mengedepankan kepentingan anak.
- Sekolah melakukan pengelolaan terpusat, homeschooling memberi kesempatan
- Sekolah menerima wewenang dari orangtua, sedangkan homeschooling memberi wewenang sepenuhnya pada orangtua.
- Sekolah menentukan jadwal dan homeschooling memberi jadwal yang fleksibel.
- Peran guru biasanya dominan di kebanyakan sekolah, sedangkan peran orangtua yang dominan di homeschooling.
B. Sejarah Homeschooling di Indonesia
Di Indonesia, homeschooling mulai marak dan menarik perhatian sejak tahun 1990-an. Salah satu tokoh yang melakukan homeschooling untuk mendidik anak-anaknya adalah K.H. Agus Salim. Sebenarnya banyak tokoh yang sudah menjalani homeschooling sejah puluhan tahun silam. Bisa dikatakan cikal bakal HS berawal dari zaman raja-raja atau kaum bangsawan yang memilih memanggil guru privat untuk anak-anaknya.
Dalam kehidupan sehari-hari, orangtua telah menjadi pengajar HS yang pertama. Dari rumah anak dibekali pengetahuan tentang beberapa hal. Belajar tidak hanya identik dengan membaca buku dan mengerjakan tugas di ruang kelas saja, hal kecil seperti mengupas kulit pisang sebelum memakannya pun merupakan suatu pembelajaran. Indonesia sendiri mengenal tiga sistem pendidikan, yaitu
1. Pendidikan formal, yaitu bentuk pendidikan dan pelatihan yang diberikan secara terorganisasi dan berjenjang, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus. Sekolah-sekolah yang kita kenal selama ini tergolong pada pendidikan formal.
2 Pendidikan informal, yaitu pendidikan atau pelatihan yang terdapat di keluarga atau masyarakat dalam bentuk yang tidak terorganisasi. Homeschooling tergolong dalam sistem pendidikan informal.
3. Pendidikan nonformal, yaitu segala bentuk pelatihan yang diberikan secara terorganisasi di luar sistem pendidikan formal, meliputi berbagai macam kursus yang diselenggarakan oleh banyak pihak.
Belakangan ini HS memang makin berkembang. Keberadaannya pun sudah mendapat pengakuan secara resmi dari pemerintah sehingga tidak ada kekhawatiran lagi mengenai legalitasnya. Pemerintah pun sudah memberikan dukungan nyata kepada HS dengan mengizinkan ujian kesetaraan bagi para peserta HS di seluruh Indonesia yang diselenggarakan pemerintah. Hal ini memungkinkan peserta HS mendapatkan ijazah dan dapat melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi lagi. Meskipun tidak menyebut tentang HS secara khusus, UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sudah mengatur dengan jelas tentang adanya kegiatan pendidikan informal yang dilakukan keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.
Sejarah HS tidak lepas dari sosok John Caldwell Holt, seorang warga Amerika Serikat yang menulis buku tentang pendidikan formal pada tahun 1960-an. Holt menyoroti kegagalan anak di sekolah karena tekanan berlebihan dari guru yang menyebabkan anak menjadi takut. Pada dasarnya manusia merupakan makhluk yang senang belajar. Sayangnya, kesenangan itu justru dirusak oleh orang-orang yang berusaha untuk mengatur dan mengontrolnya. Dalam hal ini, tentu saja yang dimaksud Holt adalah para guru. Setelah menulis beberapa buku, Holt akhirnya menerbitkan bacaan khusus yang menjadi salah satu sistem pendukung HS saat itu, yaitu: “Growing Without School”. Dari sinilah Holt dianggap sebagai salah satu pelopor HS modern yang pada kemudian hari berkembang begitu pesat.
Di Indonesia sendiri, HS masih dipandang sebelah mata. Banyak komentar miring yang menganggap bahwa HS hanya akan membuat anak menjadi kurang pergaulan dan takut pendidikan anaknya tidak bisa lanjut ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Padahal dalam HS semua yang ada pada lingkungan si anak adalah media belajarnya, karena ilmu itu luas dan ada di mana-mana. Sedangkan masalah tentang legalitas dan keberlanjutan nasib pendidikan anak, HS sudah diakui oleh pemerintah, bahkan pemerintah sudah memfasilitasi dan mengizinkan para pelaku HS mengikuti ujian kesetaraan sehingga dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi lagi.
Kemunculan HS di Indonesia antara lain dipicu oleh meningkatnya pengetahuan saat seseorang bersekolah atau tinggal di negara-negara pemilik sistem HS yang sudah mapan. Perkembangan arus informasi yang begitu cepat pun menjadi salah satu faktor munculnya HS di Indonesia. HS berkembang melalui berbagai media, mulai dari internet, seminar, media cetak, dan sebagainya. HS juga tumbuh pesat karena banyak yang menilai kurang berkualitasnya sekolah negeri, sementara sekolah swasta membutuhkan biaya yang tergolong mahal. Mengenal HS sama artinya dengan mengenal pemikiran-pemikiran baru yang benar-benar digunakan untuk kepentingan anak, karena HS menitikberatkan pada kenyamanan dan kebutuhan anak.
Intinya, sejak ribuan tahun silam orang-orang sudah menyadari pentingnya ilmu pengetahuan. Ini membuktikan bahwa pada dasarnya manusia sangat senang mempelajari hal-hal baru. Manusia berkembang sesuai kebutuhan dan keadaan lingkungannya. Begitu juga HS telah menjadi salah satu pilihan menarik dalam kehidupan masa kini. HS memberi anak kesempatan untuk memperluas tempat belajar, tidak ada batasan duduk di dalam kelas dan ditemani buku pelajaran saja. HS telah mengembalikan hakikat belajar itu sendiri. Pelaku HS dibebaskan untuk mereguk ilmu dari mana pun sumbernya. Bebas memilih apa yang ingin dipelajarinya. Pada zaman yang serbamaju ini, akses untuk mendapat ilmu sangatlah mudah. Tinggal bagaimana kita mengelolanya dengan baik agar bisa mendapatka pelajaran yang memang dibutuhkan. HS adalah sebuah peluang untuk sekolah yang begitu luar biasa.
C. Tujuan Program
Dikutip dalam situs padamu.net, menurut John Holt tujuan dilaksanakannya homeschooling adalah:
1. Menjamin penyelesaian pendidikan dasar dan menengah yang bermutu untuk proses pembelajaran akademik dan kecakapan hidup.
2. Menjamin pemerataan dan kemudahan akses pendidikan bagi setiap individu untuk proses pembelajaran akademik dan kecakapan hidup.
3. Melayani peserta didik yang memerlukan pendidikan akademik dan kecakapan secara fleksibel untuk meningkatkan mutu kehidupannya.
D. Manfaat Program
Menurut Adilistiono (2011) dalam Padamu.net, homeschooling memiliki beberapa manfaat sebagai berikut:
1. Anak-anak menjadi subyek belajar.
Melalui HS, anak-anak benar-benar diberi peluang untuk menentukan materi-materi yang dipelajarinya. Anak benar-benar menjadi subyek dalam kegiatan belajar.
2. Fleksibel.
Sebagai bentuk dari sistem pendidikan informal, kunci utama penyelenggaraan HS adalah adanya kelenturan dan fleksibilitas, jadi tidak boleh kaku dan terlalu berstruktur sebagaimana sekolah formal. Apabila disusun dalam kurikulum yang baku, maka HS justru akan kehilangan makna utamanya.
3. Pembelajaran kontekstual.
HS sangat memungkinkan untuk menampung sekaligus mendukung kegiatan belajar yang kontekstual di mana masing-masing berada di dalam konteks yang beragam misalnya konteks lingkungan tempat tinggal, keluarga, teman-teman, sekolah, pekerjaan, kebijakan politik dan ekosistem bumi.
4. Objek yang dipelajari sangat luas dan nyata.
E. Program/kegiatan Penmas yang aktual, trend setter/trending topik
Dilansir dalam laman Homeschooling Kak Seto, ada beberapa program pembelajaran HS yang menjadi pembeda dari pembelajaran formal, di antaranya:
1. Friday Class, merupakan proses pembelajaran non-akademik untuk siswa yang bertujuan mengembangkan diri, keterampilan, dan kreativitas anak melalui kegiatan workshop, hastakarya, konseling, agama, olahraga, dan pendidikan finansial.
2. Gathering Distance Learning (DL), merupakan kegiatan yang melibatkan seluruh siswa HS yang dilakukan setiap 3 bulan sekali. Siswa berkumpul di sebuah tempat yang telah ditentukan dengan pemberitahuan sebelumnya dan belajar bersama dengan cara yang berbeda. Denan adanya GL Gathering ini, diharapkan pelaku HS dapat mengenal serta bersosialisasi dengan teman-teman sesama siswa HS. Sehingga meskipun mereka belajar di rumah masing-masing, mereka masih dapat bergaul (bersosialisasi) dengan teman-temannya.
3. Outing, merupakan proses pembelajaran di mana siswa belajar di luar kelas melalui kunjungan baik outdoor maupun indoor yang diselenggarakan tiap 2 bulan seklai. Diharapkan dengan adanya outing ini siswa menjadi tidak jenuh dengan pembelajaran yang berada di rumah dan dapat mempraktikkan materi-materi yang sudah diajarkan dan dapat menambah wawasan yang lebih luas serta menambah pengetahuan tentang hal-hal yang tidak diberikan dalam pembelajaran biasanya.
4. Study Refresh, merupakan kegiatan yang ditujukan untuk siswa sebagai penyegaran diri yang dilaksanakan baik sebelum ataupun sesudah pelaksanaan Ujian Akhir Semester (UAS).
F. Kebijakan Program
Kebijakan mengenai pendidikan di Indonesia diatur dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Di dalam UU tersebut, disebutkan mengenai keberadaan tiga jalur pendidikan yang diakui pemerintah, yaitu: jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. Walaupun UU Sisdiknas tidak menyebutkan secara khusus istilah homeschooling/ home education, substansi HS adalah pendidikan informal. Ketentuan mengenai pendidikan informal diatur dalam pasal 27: Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.
Anak-anak yang belajar melalui HS (jalur pendidikan informal) dapat memperoleh ijazah dengan cara mengikuti ujian kesetaraan yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan Nasional. Ujian Kesetaraan terdiri atas tiga jenjang, yaitu Paket A (setara SD), Paket B (setara SMP), dan Paket C (setara SMA). Dengan memiliki ijazah Paket C, seorang anak dapat melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi manapun yang diinginkannya. Sudah banyak anak-anak HS/HE yang mengikuti ujian Paket C dan kemudian melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi, baik negeri maupun swasta.
G. Sasaran Program
Dalam homeschooling sasaran utamanya memang anak-anak usia balita sampai anak umur sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, sebab di usia-usia seperti inilah yang sangat rawan untuk mudah terpengaruh unsur-unsur negatif dari luar. HS juga bukan hanya diperuntukkan bagi anak usia dini sampai usia sekolah menengah pertama saja, banyak orang tua yang memilih HS untuk anaknya agar bisa mendapatkan ujian penyerataan masuk sekolah menengah dan perguruan tinggi agar orangtua bisa mengembangkan bakat anak. Kebanyakan kasus, siswa yang mengikuti HS cenderung memilih sekolah-sekolah favorit dan perguruan tinggi yang bonafit dan berkualitas sekelas Harvard University. Ini menunjukkan suatu indikasi bahwa HS berhasil diterapkan di Amerika Serikat sebagai gerakan pendidikan alternatif.
Sumber Referensi
Ariefianto, Lutfi. 2017. Homeschooling: Persepsi, Latar Belakang dan Problematikanya (Studi Kasus pada Peserta Didik di Homeschooling Jember (Homeschooling: Perception, Background and Problematic (Case Study in Student Homeschooling District of Jember)). Jurnal Edukasi 2107, IV (2). Jember: Universitas Jember.
Hanaco, Indah. 2012. I Love Homeschooling: Segala Sesuatu yang Harus Diketahui tentang Homeschooling. Jakarta: Kompas Gramedia.
Sumardiono. 2013. FAQ Homeschooling: Menjawab Sepuluh Pertanyaan Mengenai Homescooling yang Sering Ditanyakan. Jakarta: Rumah Inspirasi.
Sumardiono. 2013. Homeschooling VS Sekolah: Apa Itu Homeschooling?. Jakarta: Rumah Inspirasi.
Komentar
Posting Komentar